6 Peninggalan Kerajaan Pajang Yang Bersejarah

Peninggalan Kerajaan Pajang - Kerajaan Pajang berdiri pada sekitar akhir abad ke 16 Masehi. Berdirinya kerajaan Pajang bersamaan dengan berakhirnya kerajaan Demak.  Berdirinya kerajaan Pajang diduga karena konflik internal pada kerajaan Demak. Hal terbesar yang menjadi faktor runtuhnya kerajaan Demak adalah karena adanya konflik keluarga.

Konflik yang terjadi di kerajaan Demak disebabkan oleh dua tokoh yaitu Joko Tingkir dan Ario Panangsang. Keduanya terlibat konflik dan perang yang sengit yang pada akhirnya menyebabkan kematian Aryo Panangsang. Arya Panangsang yang saat itu berstatus raja Demak berhasil dibunuh oleh Joko Tingkir yang berasal dari Pajang.

Pada awalnya, naiknya Arya Panangsang menjadi raja Demak tidak disetujui oleh keluarga besar dari kerajaan Demak. Karena hal tersebut, Jaka Tingkir yang berstatus menantu dari sultan Trenggono bertanggung jawab dalam mengakhiri kekuasaan Aryo Panangsang.

Selepas wafatnya Aryo Panangsang, maka pusat kerajaan Demak digeser ke Pajang dan Joko Tingkir yang dinobatkan sebagai raja pertama. Pada awalnya, Joko Tingkir  adalah seorang adipati Pajang pada masa pemerintahan sultan Trenggono. Kerajaan Pajang sendiri berkuasa tidak terlalu lama dikarenakan posisinya yang berdekatan dengan kerajaan Islam lainnya yakni kerajaan Mataram Islam.

Kerajaan Pajang berada pada masa keemasan yakni pada masa sultan Hadiwijaya. Banyak pencapaian saat kerajaan Pajang saat dipimpin oleh sultan Hadiwijaya. Pindahnya kekuasaan Islam dari Demak ke Pajang adalah bukti dari kemenangan Islam Kejawen  dari Islam Ortodok pada saat itu.

Dengan sejarah kerajaan Pajang yang begitu luar biasa, tentunya kerajaan Pajang terdapat peninggalan sejarah yang membuktikan eksistensi kerajaan Pajang pada masanya. Berikut saya informasikan 6 Peninggalan Kerajaan Pajang Yang Bersejarah.

1. Bandar Kabanaran
Sumber: kekunaan.blogspot.com
Situs ini berada di jalan Nitik RT. 04, RW. 01, kelurahan Laweyan, kecamatan Laweyan, Surakarta. Bandar Kabanaran adalah sebuah bandar yang berkembang saat masa kerajaan Pajang yang berlokasi di tepi sungai Jenes yaitu anak sungai Bengawan Solo.

Posisi sungai Jenes pada situs Bandar kebenaran juga sekaligus sebagai pembatas antara kabupaten Sukoharjo dan kota Solo. Dahulu warga sekitar mengenal sungai ini dengan sebutan sungai Kabanaran.  Saat zaman kerajaan Pajang, sungai Kabanaran menjadi jalur utama perdagangan dan juga transportasi yang terhubung secara langsung ke sungai Bengawan Solo.

Sejak pengelolaan Laweyang dipercayakan kepada Kyai Ageng Henis oleh raden Patah, daerah ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tidak hanya sebagai pusat dakwah Islam  Jawa bagian Selatan, akan tetapi daerah ini juga menjadi pusat perekonomian batik pada waktu itu. Hal ini terjadi karena didukung oleh dekatnya posisi Bandar Kabanaran dan juga karena adanya sungai Jenes.

Dahulu kala, pasar Laweyan termasuk pasar yang cukup ramai. Saat lahirnya kerajaan Pajang, pasar ini bisa dikatakan sebagai penyokong utama perdagangan di Laweyang. Selain itu, jarak yang dekat dengan Bandar Kabanaran yakni hanya berjarak 100 meter menjadikan pasar Laweyan terus berkembang pesat.

Dahulu, Laweyan juga terkenal sebagai penghasil kapas yang dapat dibuat menjadi batik dan kain mori yang dijual ke tempat lain. Tiap harinya dari Laweyan lewat jalur Bandar Kabanaran barang-barang tersebut diangkut oleh perahu-perahu yang ada di Bandar Kabanaran menuju daerah Bandar Nusupan yang kemudian diangkut lagi menggunakan perahu dengan ukuran yang lebih besar menuju Bandar Gresik.

Terjadinya kemunduran Bandar Kabanaran disebabkan karena semakin berkurangnya debit air sungai Jenes yang diakibatkan karena adanya pendangkalan. Sungai yang dahulunya menjadi jalur utama semakin kecil perannya karena berkurangnya volume air sungai tersebut.

Selain alasan diatas, dibangunnya infrastruktur jalan yakni jalan Dr. Rajiman dan juga dibangunnya jalur kereta api oleh Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij tahun 1870 hingga 1872, menjadikan pengusaha Laweyan pun berpindah ke sarana transportasi yang tentunya lebih modern. Saat ini, Bandar Kabanaran sudah tidak menunjukan adanya aktivitas lagi.

Saat ini kita hanya bisa melihat sebuah alur sungai yang dangkal dengan bau yang menyengat serta warnanya yang hitam pekat. Jika di lokasi tersebut tidak ada tulisan Bandar Kabanaran yang ditulis pada sebua papan nama, maka orang yang melintas disana tidak akan tahu bahwa dahulunya Bandar Kabanaran pernah menjadi pusat perdagangan yang menyokong perekonomian di Laweyan khususnya kerajaan Pajang secara umum pada saat itu.

2. Pasar Laweyan
Sumber: wonderfulsolo.com
Laweyan merupakan kecamatan yang posisinya berada di Barat Kota Surakarta. Daerah ini dikenal karena penduduknyayang mayoritas menjadi pedagang batik. Nama Laweyan sendiri digunakan dalam menyebut kelompok tertentu yang dikenal sebagai kaum yang kaya atau wong Nglawiyan. Wajar saja sebutan itu disematkan kepada kelompok ini karena daerah tersebut merupakan tempat tinggal pengusaha batik tulis jawa dan juga sebagai pusat perdagangan batik.

Nama Laweyan sendiri ada pendapat yang mengatakan berasal dari kata Lawiyan yang artinya ali-alih (perpindahan), yang dalam awal pengucapannya Ngaliyan yang akhirnya menjadi kata Lawiyan. Lawiyan sendiri merupakan tempat berpindahnya orang-orang desa Nusupan. Mereka berpindah disebabkan untuk menghindari bencana banjir dari Bengawan Sala yang dahulunya dikenal dengan nama Bengawan Nusupan atau Bengawan Semanggi.

Desa Nusupan pada masa kerajaan Pajang menjadi pelabuhan yang berperan sangat penting. Akan tetapi, karena seringnya terjadi bencana banjir, berpindah posisi ke Lawiyan. Sejak saat itu hingga saat ini Wong Nglawiyan diberi julukan kelompok orang kaya oleh masyarakat Sala. Setelah itu, terjadi perkembangan yang sangat pesat dari Lawiyan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya pengusaha batik yang pertama yang dikenal dengan Sarekat Dagang Islam yang dipelopori Kyai Haji Samanhudi.

Pasar Laweyan sendiri berada tidak jauh dari Bandar Kabanaran. Pasar ini dahulunya merupakan sentra utama kegiatan dagang di Bandar Kabanaran. Sampai saat ini, pasar Laweyan masih digunakan masyarakat sekitar untuk transaksi perdagangan. Walaupun demikian, tidak ada peninggalan sejarah yang spesifik dalam menjelaskan bagaimana pembangunan pasar tersebut.

3. Masjid Laweyan
Sumber: @laweyan.solo ia Instagram
Masjid Laweyan berada di jalan Liris No. 1, dusun Belukan RT 04 RW 04, Kel. Pajang, Kec. Pajang, SurakartaMasjid Laweyan atau juga dikenal dengan sebutan masjid Ki Ageng Henis di daerah Solo menjadi bukti sejarah penyebaran agama Islam di kota Solo, Jawa. Walaupun dilakukan beberapa kali perbaikan, akan tetapi masih terlihat di sudut Masjid beberapa peninggalan berupa Pura, yakni tempat peribadatan umat Hindu.

Berdasarkan keterangan dari ketua takmir masjid Laweyan yaitu Achmad Sulaiman didapat informasi bahwa, pada masa pemerintahan kerajaan Pajang kisaran tahun 1546 masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya berdiri kokoh sebuah Pura yakni, tempat peribadatan umat Hindu di daerah Pajang.

Ringkasan Sejarah Masjid Laweyan
Masjid Laweyan dibangun pada tahun 1546, yakni disaat masa kerajaan Pajang sebelum berdirinya Surakarta (1745 Masehi). Kerajaan Pajang adalah cikal bakal lahirnya kesultanan Mataram yang setelah itu pecah menjadi Kasunanan Ngayogyakarta dan Surakarta.

Berdirinya masjid ini terjadi saat pemerintahan sultan Hadiwijaya yaitu raja kerajaan Pajang. Masjid ini masih kokoh berdiri hingga saat ini. Selain itu, juga terdapat peninggalan yang berusia ratusan tahun yaitu kentongan dan juga beduk serta juga terdapat 12 tiang utama yang dibuat dari kayu Jati.

Masjid ini memiliki bentuk seperti Kelenteng Jawa. Hal ini membuat masjid satu ini memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dari masjid lainnya. Selain tampak luar yang bernuansa Jawa, atap masjid ini juga mengandung arsitek Jawa dimana bentuk atap menggunakan tajuk (bersusun). Dinding dari masjid ini terbuat dari semen serta susunan batu bata yang tersusun rapi.

Penggunaan dinding dengan bahan batu baru dimulai sekitar tahun 1800, dimana sebelumya dinding dari masjid ini terbuat dari kayu. Hal ini dibuktikan dengan adanya rumah dari kuncen makam kuno yang terbuat dari kayu.

4. Kesenian Batik Laweyan
Sumber: @batik_maheswari via Instagram
Kampung batik Laweyan adalah salah satu wisata yang dikelola langsung oleh pemerintah Solo. Hal ini dilakukan untuk menarik minat para wisatawan asing maupun lokal untuk melihat kesenian batik. Kampung ini merupakan pusat batik di kota Solo dan telah ada sejak masa pemerintahan kerajaan Pajang tahun 1546.

Kampung Laweyan sendiri di buat dengan konsep terpadu, yakni dengan memanfaatkan lahan dengan luasan kurang lebih 24 Hektar yang kemudian dibagi dalam 3 blok. Pada kampung batik ini, ada ratusan pengrajin batik yang mendagangkan hasil batiknya yang kaya akan motif. Contoh motifnya seperti Truntum dan Tirto Tejo yang dijual dengan harga bervariasi.

Masyarakat yang tinggal di kampung Laweyan telah menjalani profesi dibidang kain ini dari abad ke 14. Pada saat itu pula masyarakat kampung Laweyan dikenal sebagai penghasil kain yang berkualitas karena masih dibuat dengan cara tradisional. Oleh sebab itu pula, nama Laweyan menjadi julukan bagi  daerah masyarakat ini karena dalam bahasa Jawa Lawe memiliki arti benang.

Profesi menjadi pembatik yang dilakukan secara turun temurun, akhirnya daerah ini sampai pada masa kejayaan yaitu pada awal abad ke 20. Hal ini dapat tercapai karena seorang pebisnis yang bernama Samanhudi memperkenalkan tekhnik membatik yang lebih modern yakni membatik dengan teknik cap. Dengan diperkenalkan tekhnik ini maka proses membatik menjadi lebih efisien. Industri batik di Laweyan pun berkembang dengan sangat pesat.

Akan tetapi industri batik kembali mengalami kemunduran karena hadirnya batik printing. Batik printing tentunya memiliki harga yang lebih murah dan proses pembuatan yang lebih cepat. Hal tersebut membuat industri batik cap terjadi kemunduran yang luar biasa.

Bangkit kembalinya Laweyan sebagai pusat batik dimulai kembali pada tahun 2004. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut para tokoh di kawasan Laweyan berkumpul untuk membicarakan masalah masa depan industri batik di Laweyan. Sejak saat itu kegiatan usaha di Laweyan pun semakin hari semakin membaik. Mereka mengubah tekhnik berjualan, dimana Laweyan tidak hanya menjadi tempat produksi tetapi juga menjadi tempat wisata.

Para tamu yang datang pun semakin tinggi tingkat kepuasannya, karena tidak hanya dapat membeli batik mereka juga dapat melihat proses pengerjaan batik bahkan bisa ikut terlibat dalam pembuatan batik. Penetapan Laweyan menjadi tempat wisata pun semakin ditunjang karena adanya penetapan kawasan Laweyan menjadi cagar budaya.

5. Makan Para Bangsawan Pajang
Sumber: www.instagram.com
Peninggalan yang tidak kalah pentingnya adalah terdapatnya kompleks pemakaman para bangsawan kerajaan Pajang. Di pemakaman ini terdapat 20 makam, dimana salah satunya adalah makam Ki Ageng Henis yang merupakan salah satu perintis berdirinya kerajaan kerajaan Pajang. Makam-makam tersebut banyak dikunjungi para wisatawan seusai menunaikan ibadah di masjid Laweyan.

Perlu kita ketahui bersama, Ki Ageng Henis adalah anak dari Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo Sendiri terkenal akan kisah kesaktiannya yang mampu menangkap petir. Ki Ageng Selo sendiri mengabdi Sultan Hadiwijaya atau lebih familiar dengan sebutan Joko Tingkir. Karena pengabdiaannya yang luar biasa kemudian ia diberikan tanah perdikan di daerh Laweyan, dan hal inilah yang dikemudian hari menjadi cikal bakal berdirinya masjid Laweyan.

6. Makam Joko Tingkir/Sultan Hadiwijaya
Sumber: @bonohandoko via Instagram
Joko Tingkir atau dikenal juga dengean sebutan Mas Karebet memiliki nama asli Sultan Hadiwijaya. Joko Tingkir merupakan pendiri sekaligus juga raja pertama Kerajaan Pajang yang memerintah Pajang mulai dari tahun 1549 hingga 1582 M.

Hanya sedikit saja orang yang tahu lokasi dari Makam Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, raja pertama sekaligus juga pendiri Kerajaan Pajang. Tidak sama seperti halnya makam dari raja-raja Solo dan juga Yogyakarta yang diketahui banyak orang keberadaannya serta senantiasa ramai didatangi para peziarah yang berasal dari daerah sekitar maupun daerah luar.

Makam Jaka Tingkir jauh ada di pelosok perkampungan masyarakat. Lebih tepatnya makam ini berada di Butuh, Gedongan, Plupuh, Dusun II, Gedongan, Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Komplek pemakaman Jaka Tingkir diberi nama Makam Butuh yang ditandai dengan adanya sebuah bangunan masjid bernama Masjid Butuh. 

Itulah informasi yang dapat saya berikan terkait 6 Peninggalan kerajaan Pajang Yang Bersejarah. Dengan mengetahui sejarah tentang kerajaan-kerajaan Indonesia, maka kita tentunya lebih menghargai dan mengetahui betapa luar biasanya perjalanan bangsa ini. Dengan mengetahui sejarah kita juga dapat mengambil pelajaran agar dapat menjalani hidup yang lebih baik dari hari ke hari.

Semoga Bermanfaat.

0 Response to "6 Peninggalan Kerajaan Pajang Yang Bersejarah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel